Kami hanya memotret. Kami berharap tidak memberikan ulasan terhadap nasib ibu, bapak atau saudara-saudara kita yang masih setia hidup dengan bertani. Bahkan air mata pun tidak akan sanggup mewakili keikhlasan mereka mengayuh kehidupan, dalam balutan lumpur, dalam kekurangan, dalam ketertinggalan dan tentu saja....kemiskinan.
Bisa saja kita berasumsi mereka tidak akan mampu mengadopsi teknologi pertanian kita, yang memang semakin hari semakin tidak terbeli. Bisa jadi kita menyepelekan kehadiran mereka dan hanya mengingatnya sebentar dalam lalu lalang orang di jalan ketika musim tanam tiba. Bisa jadi kita tidak pernah menghitung mereka ketika kita memprediksi dengan gagah sasaran produksi pangan di meja-meja kokohnya kekuasaan kita. Lalu untuk siapa pembangunan pangan kita persembahkan? dan untuk apa Tuhan menghadirkan mereka di tengah-tengah kita?
Kami tidak setuju dengan cara mereka memperlakukan benih. Benar, kami sayangkan perlakuan yang mencuci, mengikat, memotong benih yang tidak efektif. Dan terkadang kami berkhayal bisa hidup di lingkungan petani yang maju, punya lahan tersertifikasi, menanam komoditas yang laku di super market, mempunyai bank benih, ada kredit buat usaha tani...ada subsidi buat anak-anak petani yang sekolah di fakultas pertanian...bahkan terkadang kami bermimpi tidak tinggal di negeri ini...melainkan tinggal di negeri indah dimana banyak pohon aprikot yang anggun di bukit-bukit yang semampai.
Tapi mimpi itu luruh dan menguap entah kemana apabila kami menghadapi sepiring nasi hangat di meja makan kami, nasi yang telah berpuluh-puluh tahun menghidupi kami. Nasi yang memberi kami tenaga, memungkinkan kami berpikir, membakar semangat kami untuk membangun negara yang maju...yang terkadang ironisnya malah menempatkan mereka di sudut pinggiran kolam peradaban. Karena mereka bukan artis Bollywood yang bermata jeli dan senyum menawan...karena mereka tidak mengkilat seperti gadget kita yang canggih...atau karena mereka hidup statis dan jauh dari cita-cita alam bawah sadar kita terhadap progres dan perubahan.
Namun mereka akan terlihat apabila kita memakai bingkai kaca mata cinta. Tetesan keringat, kerja keras, keluguan dan keikhlasan mereka untuk tetap bertani adalah aliran murni cinta kehidupan yang begitu dalam. Mereka bagai buih tak bernilai di hadapan kemajuan peradaban...bahkan mereka mungkin tidak pernah memimpikan mobil mewah, gadget atau baju berkilau yang susah untuk diraih. Tapi Tuhan tersenyum menatap mereka..karena mereka termasuk ke dalam sebaik-sebaik manusia yang memberikan manfaat dan kehidupan terhadap orang lain...meski kerap dilupakan.
Penghormatan terdalam dari kami, Komunitas Malai-Malai Padi bagi Bapak dan Ibu yang masih ikhlas bertani.
Eeng_Komunitas Malai-Malai Padi @ 2015