Breaking News

Kamis, 12 Februari 2015

Banjir dan Sawah Kita

Menembus Banjir Ketika Melihat Sawah Organik
Banjir adalah cerita kita setiap memasuki musim hujan. Banjir juga seharusnya menjadi persoalan yang bisa ditangani untuk menyelamatkan lahan pertanian, tapi nampaknya banjir tetap saja ada dan masalah menjadi semakin rumit. Sekali lagi, kami di Komunitas Malai-Malai Padi membiasakan diri dengan semangat Do It Yourself (DIY), dalam arti apa yang bisa kita perbuat sekecil apapun untuk memperbaiki keadaan lahan pertanian kita termasuk dalam menghadapi banjir.

Terdapat beberapa penyebab banjir di lahan sawah : 

Pertama, hujan itu sendiri. Intensitas hujan yang tinggi di beberapa tempat akan menyebabkan air yang meluap hingga ke lahan sawah. 

Kedua, Banjir yang bukan hanya disebabkan oleh hujan itu sendiri. Banjir jenis ini biasanya menyebabkan sawah kumplung, atau sawah yang kesulitan drainase sehingga air tertahan dilahan sawah hingga berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. 


Air berlimbah, rahmat yang blm dioptimalkan
Dua jenis banjir tersebut tidaklah baik bagi sawah kita, terlebih kita sudah terbiasa sedemikian rupa menggeser musim tanam ke musim hujan. Bahkan di beberapa lokasi seperti Kecamatan Balongan, Indramayu, banyak sawah yang belum dibajak walaupun sudah tergenang oleh air banjir, serta petani baru menanam ketika air tinggi dengan benih yang sudah berumur tua hampir 30 hari setelah tanam (HST). 

Benih yang sudah tinggi ini, konon dianggap kuat bertahan menghadapi banjir yang terus meninggi, namun menanam bibit usia tua tidak akan menghasilkan produksi padi yang optimal, karena segera setelah ditanam padi yang harus sudah masuk fase generatif masih berkutat dengan adaptasi lahan. Seperti kita ketahui bahwa banjir menjadi salah satu penyebab pemborosan usaha tani, banjir akan menghanyutkan berjuta ton pupuk yang diberikan serta menghilangkan beribu ton benih yang sudah ditanam, serta mengurangi produksi padi kita.

Solusi terhadap banjir menurut kami tidak cukup dengan mengatasi secara teknis, namun kita juga harus merubah paradigma kita terhadap banjir itu sendiri. Dengan kata lain kita harus bersahabat dengan banjir, mengenali tanda-tanda dan akibat yang ditimbulkannya secara mendalam sehingga kita bisa lebih arif dalam berusaha tani. Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan di lahan pertanian untuk mengurangi dampak banjir : 

1. Meningkatkan Kemampuan Mengikat Air (KMA) di Lahan Sawah

Lahan sawah yang sudah begitu lama diberi pupuk kimia akan menyimpan lapisan residu yang menumpuk dan mengurangi kemampuan penyerapan air ditambah tipisnya pola pembalikan oleh traktor, tidak pernah cukup dalam untuk membalikan lahan di bagian dasar.

Sedangkan lahan yang terbiasa diberikan kompos, akan mengurangi lapisan keras karena residu penggunaan pupuk kimia dengan kembali menghidupkan jasad renik ciptaan Tuhan, semisal cacing, belut dan mikroba. Dengan hidup dan berkembang biaknya zasad renik menyebabkan tanah menjadi gembur dan mempunyai kemampuan untuk mengikat air (KMA). KMA inilah yang membuat perbedaan. 

Lahan yang biasa diberi pupuk organik pada musim hujan mempunyai kemampuan untuk menyerap air hujan jauh lebih banyak daripada lahan pertanian yang hanya menggunakan pupuk kimia. Bila pupuk organik diberikan pada lahan pertanian di Indramayu dan dataran rendah lainnya, kita mempunyai cadangan air yang baik di lahan sawah, khususnya pada saat musim hujan sudah reda. Dengan KMA yang tinggi tersebut, tanaman padi bisa tumbuh dan panen walaupun selama 3 bulan tidak mendapatkan hujan. Hal itu terjadi dan telah terbukti di lahan padi organik milik Mang Ibo di Tasikmalaya.


3 bulan tdk terairi masih bisa panen dengan organik
Bagi Indramayu dan daerah dataran rendah lainnya, tentunya hal ini juga bisa diterapkan sehingga air hujan bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk pertanian kita.

2. Membuat Biopori di Lahan Sawah

Setiap musim hujan datang, air begitu melimpah. rahmat Tuhan tercurah mengguyur bumi dan menumbuhkan tanaman-tanaman yang kering dan benih-benih yang mati. Sudah menjadi rahasia kita semua bahwa banjir yang datang tidak pernah masuk dan menyerap ke dalam tanah. Sebagian besar meluncur diatas beton, semen, aspal jalan dan tanah yang dilapisi bebatuan dan kerikil.

Biopori pernah diprogram secara besar-besaran di Kota Bandung untuk mengembalikan cadangan air tanah di kota tersebut. Biopori di persawahan dataran rendah juga kita perlukan terutama di daerah pesisir pantura seperti Indramayu dan sekitarnya untuk meningkatkan cadangan air tanah yang bisa digunakan pada waktu musim kemarau serta mengurangi intrusi air laut ke daratan. 

Perbedaan biopori dengan KMA adalah kedalaman tanah yang bisa dijangkau untuk menyimpan air hujan, KMA hanya untuk tanah top soil dan lapisan pertumbuhan akar sedangkan biopori sampai lapisan penyimpanan air tanah . Biopori adalah salah satu aktualisasi dari konsep bank air, menyimpan sebanyak mungkin air ke dalam tanah pada musim hujan dan memetiknya pada musim kemarau.

3. Revitalisasi saluran cacing, Adaptasi Iklim dan Perubahan Pola Tanam

Ketiga hal diatas perlu kesungguhan untuk dilaksanakan. Terutama hal ini terkait dengan kearifan yang banyak hilang di lingkungan petani kita yaitu kesadaran komunal. Persoalan banjir di lahan sawah kita dan dampaknya secara lingkungan dan ekonomi sesungguhnya bisa diatasi, hanya saja upaya tersebut membutuhkan kesungguhan dan komitmen tinggi di semua stake holder.

Eeng_Komunitas Malai-Malai Padi @2015

Designed By Blogger Templates